refleksi tentang berdamai dengan diri dan cara Tuhan menuntun lewat kesadaran
Dulu, aku sering merasa dunia terlalu keras padaku.
Setiap kata orang bisa menembus seperti duri,
setiap kegagalan terasa seperti hukuman dari langit.
Aku menyalahkan banyak hal — keadaan, orang lain, bahkan takdir.
Padahal, yang sesungguhnya menyakitiku bukan mereka,
melainkan pikiranku sendiri yang menolak menerima.
Lama sekali aku hidup dengan luka yang kubuat sendiri.
Aku menahan marah, menumpuk kecewa,
berharap waktu bisa menyembuhkan tanpa aku benar-benar melepaskan.
Tapi waktu hanya lewat, tidak menyembuhkan.
Yang menyembuhkan adalah saat aku mulai berdamai.
Lalu aku berhenti sejenak, menatap ke dalam diri.
Dan di sana, aku menemukan bisikan lembut dari – Nya:
“Selama kamu melihat dunia dengan mata takut,
kamu takkan pernah melangkah jauh.”
Aku pun teringat kata-kata Jalaluddin Rumi:
“Tidak ada yang menyakitimu kecuali itu pikiranmu,
Tidak ada yang membatasimu kecuali itu ketakutanmu,
Tidak ada yang mengendalikanmu kecuali itu keyakinanmu.”
Aku merenungkannya lama.
Dan benar, hidupku mulai berubah bukan ketika keadaan membaik,
tapi ketika pikiranku mulai tenang.
Ketika aku percaya bahwa setiap hal yang datang —
bahkan yang tampak buruk —
adalah bagian dari kasih-Nya yang sedang mendidikku diam-diam.
Sekarang aku tahu,
Allah tidak pernah menjauh.
Akulah yang sering menutup pintu dengan prasangka,
menyalahkan takdir padahal Ia sedang menuntunku pulang.
💛 Catatan dari Menyapa Hati:
Kadang, yang perlu disembuhkan bukan luka dari luar,
tapi cara kita memandang luka itu sendiri.
Karena mungkin bukan dunia yang terlalu keras,
melainkan hati kita yang belum cukup lembut untuk menerima bahwa semua ini —
selalu, dan hanya — tentang kasih Allah Tuhan semesta alam.
