Ada satu kalimat dari Jalaluddin Rumi yang terasa seperti mengetuk sisi terdalam dari diri kita:
“Lari dari apa yang menyakitimu akan semakin menyakitimu.
Jangan lari. Terlukalah sampai kamu sembuh.”
Pada awalnya, kalimat itu terdengar keras. Seolah kita diminta untuk membiarkan diri hancur begitu saja. Tapi sebenarnya, Rumi sedang menunjukkan jalan untuk menemukan kedamaian yang lebih dalam—bukan dengan kabur, melainkan dengan berani menghadapinya.
Kita sering lari, bahkan tanpa sadar
Setiap hari, kita mungkin menghindar:
dari kenangan yang belum tuntas,
dari percakapan yang kita takutkan,
dari luka-luka yang tidak ingin kita sentuh lagi.
Kita mengalihkan perhatian, menutup diri, menyibukkan diri dengan hal-hal kecil, berharap semuanya hilang begitu saja.
Namun luka yang tidak dihadapi tidak pernah benar-benar pergi.
Ia hanya berpindah menjadi bentuk lain—kecemasan, kemarahan, ketakutan, bahkan kebiasaan yang kita sendiri tidak mengerti asal-usulnya.
Rumi seolah ingin berbisik:
“Jangan sembunyikan ampas hatimu di balik senyum. Terimalah ia, karena di sanalah pintu penyembuhan.”
Mengizinkan diri terluka bukan kelemahan
Sering kali kita takut merasakan sakit karena menganggapnya tanda kelemahan.
Padahal, membiarkan diri merasakan pedih adalah bentuk keberanian yang paling jujur.
Menerima luka berarti jujur bahwa:
- ada hal yang membuatmu kecewa,
- ada kehilangan yang kamu belum siap lepaskan,
- ada harapan yang pernah tumbuh tapi kini menyisakan sunyi.
Dan ketika kamu berani menatap rasa sakit itu, kamu mulai memahami apa yang sesungguhnya kamu butuhkan. Kamu mulai mendengar suara hatimu yang selama ini tertenggelam oleh bising dunia.
Luka yang diterima perlahan kehilangan kekuatannya
Ada hal aneh yang terjadi ketika kita berhenti berlari.
Rasa sakit yang tadinya tampak besar, perlahan mengecil saat kita berani menatapnya.
Kita merasakan pedihnya, iya.
Tapi dari pedih itu lahir kesadaran, kedewasaan, dan keteguhan baru.
Rumi percaya:
“Luka adalah tempat masuknya cahaya.”
Dan cahaya itu hanya dapat masuk ketika kita berhenti menutupinya.
Pertanyaan yang harus kita jawab sendiri
Mungkin inilah yang ingin Rumi tinggalkan untuk kita:
Beranikah kita berhenti berlari dan mulai merasakan apa yang sebenarnya ada di dalam hati?
Karena pada akhirnya, luka yang dihadapi akan membawa kita pada kedamaian yang lebih lembut, lebih tulus, dan lebih dalam.
Dan justru di sanalah, kita menemukan diri kita kembali—lebih utuh daripada sebelumnya.
🌿 Catatan Menyapa Hati
Kadang yang kita butuhkan bukan kekuatan untuk melupakan,
tetapi keberanian untuk mengakui bahwa kita sedang terluka.
Jangan terburu-buru ingin pulih.
Jangan memaksa diri untuk “baik-baik saja”.
Tenanglah…
Allah melihat prosesmu, bukan hanya hasil akhirnya.
Ia tahu bagian mana yang sakit,
dan Ia menyembuhkan dengan cara yang paling lembut.
Pelan saja.
Hatimu sedang belajar berdamai, bukan berlari.
