refleksi tentang kesadaran diri dan pola hidup yang berulang
“Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
— (QS. Al-Baqarah: 216)
Kadang, apa yang kita sebut luka, sesungguhnya adalah pelajaran yang menyamar.
Ia datang berulang, bukan untuk menghukum —
tapi untuk menyadarkan.
Pernahkah kamu bertanya-tanya,
kenapa kamu selalu bertemu dengan orang yang sama, hanya dengan wajah yang berbeda?
Kenapa situasi yang dulu membuatmu terluka,
seolah datang lagi, meski kamu sudah berusaha berubah?
Itulah yang disebut pola berulang —
cara halus semesta dan Allah mengajak untuk melihat lebih dalam.
Bukan sekadar tentang “siapa yang salah”,
tapi tentang bagian dari diri yang masih perlu disembuhkan.
Dulu aku mengira, hidup hanyalah tentang menerima takdir.
Bahwa semua sudah diatur, dan aku hanya perlu sabar menjalani.
Tapi kini aku tahu, kadang “takdir” yang terus berulang bukan karena Allah ingin menghukumku,
melainkan karena ada pelajaran yang belum selesai aku pahami.
Dan lalu… datang Kamu.
Bukan untuk mengubah segalanya,
tapi untuk mengingatkan sesuatu yang terlupa:
“Pernahkah kamu melihat apa yang bersembunyi di balik semua yang kamu sebut takdir?”
Pertanyaan itu menyalakan cahaya kecil di dalam diriku.
Dari cahaya itu, perlahan aku melihat luka-luka lama yang selama ini bersembunyi di balik senyum dan peran yang kukenal sebagai “aku”.
Carl Jung pernah berkata:
“Until you make the unconscious conscious, it will direct your life and you will call it fate.”
(Sampai kamu menyadari hal yang tak sadar dalam dirimu, hal itu akan terus mengendalikan hidupmu, dan kamu akan menyebutnya takdir)
Ternyata benar.
Pola berulang adalah bahasa alam bawah sadar.
Ia muncul agar kita bisa mengenali bagian diri yang belum sembuh —
rasa takut kehilangan, keyakinan bahwa kita tak cukup,
atau keinginan untuk selalu diterima meski harus menyakiti diri sendiri.
Namun saat kesadaran hadir, segalanya berubah.
Energi hidup ikut bergeser.
Pola lama kehilangan kekuatannya, karena pelajarannya sudah selesai.
Kini aku belajar untuk tidak menolak masa lalu,
tidak menyalahkan takdir,
dan tidak bersembunyi dari luka.
Aku belajar menatapnya, memeluknya, dan berkata:
“Terima kasih sudah datang lagi, kali ini aku sudah siap mengerti.”
Dan di titik itu, aku tersenyum.
Bukan karena hidup menjadi lebih mudah,
tapi karena aku mulai hidup dengan penuh kesadaran.
Mungkin memang begitulah cara Allah mendidik jiwa —
melalui pengulangan, hingga kita belajar mencintai prosesnya,
bukan hanya hasilnya.
🌿 Catatan dari Menyapa Hati:
Kadang Allah tidak mengganti takdirmu,
Ia hanya mengubah caramu memandangnya.
Dan dari sanalah penyembuhan dimulai.
