Mungkin sebenarnya aku tidak benar-benar dikenal.
Mereka tahu aku ada, tahu aku bisa diandalkan,
tapi jarang ada yang benar-benar ingin tahu apa yang aku rasakan.
Bukan karena mereka tak peduli —
mungkin hanya karena sebagian orang memang lebih sibuk dengan dirinya sendiri:
dengan keinginannya, harapannya, dan tuntutannya terhadap kita.
Dulu aku berpikir, jadi orang baik itu sederhana.
Cukup tulus, cukup hadir, cukup membantu.
Tapi ternyata, di dunia yang penuh tuntutan ini,
kebaikan sering diukur dari seberapa sering kita bisa memenuhi keinginan orang lain.
Selama kita menurut, mereka tersenyum.
Begitu kita berkata “tidak,”
senyum itu perlahan menghilang —
digantikan jarak, atau dingin yang tak dijelaskan.
Di titik itu, aku belajar sesuatu tentang manusia.
Bahwa kadang, kita tidak benar-benar dihargai karena kebaikan kita,
tapi karena manfaat yang mereka rasakan dari kita.
Dan ketika manfaat itu berhenti, mereka pun ikut pergi —
seolah kebaikan yang pernah kita berikan tak pernah benar-benar ada.
Namun meski begitu, aku tidak ingin berubah.
Aku tidak ingin berhenti percaya,
hanya karena beberapa hati tak tahu cara berterima kasih.
Aku tidak ingin kehilangan lembutnya hatiku,
hanya karena dunia terlalu keras.
Kebaikan bukan tentang siapa yang melihat,
bukan tentang siapa yang mengakui.
Kebaikan ada di antara aku, mereka, dan semua yang pernah terjadi —
sebagai sesuatu yang tetap bertahan,
meski sering dilupakan.
Dan pada akhirnya, mungkin memang begitu seharusnya.
Karena sejatinya, kebaikan tidak butuh pengakuan,
tidak menuntut balasan.
Ia hanya perlu hati yang mau terus memilihnya,
bahkan ketika dunia tidak lagi peduli.
✨ Catatan dari Menyapa Hati:
Terkadang, menjadi baik bukan tentang diterima atau tidak —
tapi tentang tetap setia pada nilai yang membuat hati kita hidup dengan tenang. 🌷
