Ada masa-masa ketika semua orang terasa menjauh.
Satu per satu pergi, seolah dunia menutup pintu, meninggalkanku berdiri sendirian di ambang sepi.
Awalnya, aku mengira ini hukuman — cara halus dari semesta untuk mengatakan bahwa aku tak cukup layak ditemani.
Namun di tengah keheningan itu, aku mulai mendengar sesuatu yang tak terdengar sebelumnya:
suara hatiku sendiri… dan bisikan lembut yang seolah berkata,
“Bukankah Aku masih di sini?”
Lalu aku mengerti — mungkin Tuhan memang sengaja mengatur semuanya seperti ini.
Mungkin Ia tahu, selama aku sibuk dengan suara dan perhatian, aku tak akan benar-benar mendengar-Nya.
Jadi Ia memintaku berhenti, menepi, dan tinggal berdua saja dengan-Nya.
Sejak saat itu, aku berhenti menyebut kesendirian sebagai kehilangan.
Aku memandangnya sebagai undangan — panggilan lembut untuk pulang.
Dan di ruang sunyi yang dulu kutakuti, aku menemukan sesuatu yang tak pernah diberikan dunia: ketenangan yang tak tergoyahkan.
Kini aku tahu, kesendirian ini bukan hukuman, tapi panggilan.
Sebuah undangan untuk berbicara tanpa perantara, untuk beristirahat dalam keheningan yang suci.
Dan setiap kali sepi datang, aku tak lagi takut.
Aku hanya menunduk, tersenyum, dan berbisik pelan:
“Terima kasih, Tuhan, karena Engkau telah menyingkirkan semua, agar hanya Engkau yang tersisa.”
🌙 Catatan dari Menyapa Hati:
Kadang, yang kita sebut sepi adalah cara Tuhan memanggil kita kembali.
Ia menyingkirkan keramaian, agar hati punya ruang untuk mendengar-Nya.
Dan di sana — di antara diam dan doa — kita akhirnya menemukan bahwa kesendirian bukan kekosongan, melainkan tempat paling utuh untuk kembali menjadi diri sendiri, dan lebih dekat pada-Nya.
