refleksi tentang cinta diri dan kasih Allah yang mengalir lewat sesama
Ada masa dalam hidupku ketika aku terus mencari cinta di luar diriku.
Aku menunggu seseorang datang — yang bisa memahami tanpa aku banyak bicara,
yang bisa menghapus sepi, yang bisa membuatku merasa cukup.
Aku kira, ketika seseorang mencintaiku dengan tulus, barulah aku akan bahagia.
Namun waktu mengajariku sesuatu yang lembut tapi penting:
bahwa tak ada cinta dari luar yang mampu menenangkan hati yang belum berdamai dengan dirinya sendiri.
Pelan-pelan, aku mulai belajar menengok ke dalam.
Aku menemui bagian diriku yang dulu sering kutolak —
yang merasa tidak layak, takut gagal, takut ditinggalkan.
Aku mulai berbicara dengan mereka dalam diam, dengan kasih dan kesadaran baru.
Aku berbisik pada diriku sendiri,
“Kamu tidak harus menjadi sempurna untuk layak dicintai.”
Dan dalam bisikan itu, aku merasakan sesuatu yang berubah.
Ada ketenangan kecil yang tumbuh — seolah Allah sendiri sedang menenangkan batinku:
bahwa mencintai diri bukan kesombongan, tapi bentuk syukur atas ciptaan-Nya.
Aku mulai memahami, menerima diri berarti mengakui bahwa Allah tidak keliru menciptakanku.
Bahwa aku berharga, bahkan dalam prosesku yang belum selesai.
Lalu, ketika aku mulai mencintai diriku dari tempat yang penuh syukur dan keikhlasan,
aku mulai melihat cara Semesta bekerja.
Orang-orang hadir bukan lagi untuk mengisi kekosongan,
tapi untuk menemani perjalanan.
Mereka datang membawa kebaikan, ketulusan, dan kelembutan yang tak selalu bisa dijelaskan dengan logika.
Seolah-olah Allah berbisik dalam hati:
“Sekarang, izinkan Aku menunjukkan cinta itu lewat orang lain.”
Lewat mereka, aku belajar lagi arti kasih.
Bahwa cinta yang tulus tidak menuntut, tidak menyembuhkan dengan paksaan,
tapi menguatkan dengan kehadiran.
Dan dalam setiap senyum, doa, dan perhatian kecil, aku tahu — itu semua bukan kebetulan.
Itu adalah cara Allah mencintaiku, dalam wujud-wujud manusia yang dikirimkan-Nya dengan penuh kasih.
Kini aku tahu,
semakin aku mencintai diriku dengan kesadaran dan rasa syukur,
semakin mudah Allah menunjukkan cinta-Nya lewat segala hal di sekitarku —
lewat pertemuan, doa, kehangatan, bahkan lewat keheningan yang menenangkan hati.
Karena cinta sejati tidak datang dari luar ke dalam.
Ia datang dari Allah, tumbuh di dalam hati,
dan memancar keluar — untuk kembali kepada-Nya dalam bentuk yang lebih indah.
✍️ Catatan dari Menyapa Hati:
Mungkin cinta yang paling tulus bukan tentang siapa yang datang,
tapi tentang bagaimana kita belajar mencintai diri —
agar ketika cinta itu tiba, kita sudah siap menerimanya dengan hati yang penuh dan tenang.
